Mungkin ketika kalian membaca judul posting ini, kalian
berpikir aku akan menjadi seorang kritikus makanan. Well, bagi yang beranggapan
seperti itu, kalian salah. Aku nggak mau jadi seorang kritikus, sebuah
pekerjaan yang terlalu berat untuk manusia yang tak sempurna seperti aku ini
(haha). Tapi memang ada benernya juga sih, aku akan sedikit mengkritik makanan
yang beberapa hari lalu aku makan. Hanya sedikit kok, tenang saja.
So, here’s the story. Sekitar 3 hari yang lalu, aku makan
sushi (sushi’s one of my favourite foods, just FYI) di sebuah restoran masakan
Jepang yang cukup terkenal di kota tempat aku tinggal sekarang. Saat itu, aku
mengajak mamaku tercinta yang memang lagi ngidam pingin makan sushi. Aku sudah
pernah makan di tempat ini beberapa kali sebelumnya sama temen-temen, tapi
nggak pernah pergi sama mama. It was her first time. Awalnya sih, mamaku agak
males. Selain restorannya yang cukup jauh dari rumah, nyari parkir di sana juga
susah. Tapi, dengan kekuatan bulan (baca:pemaksaan), akhirnya mamaku mau juga
makan di sana. Aku berani menjamin bahwa makanan di sana enak dan harganya
murah. Berhubung aku adalah anak yang berbakti, jujur, dan rajin menabung, maka
mamaku sangat percaya dengan omonganku.
Well, kelihatannya aku sudah mulai melantur lagi, jadi to
the point aja deh. Sushi-nya asin banget. Ya, ciyus, asin pake BANGET. Mamaku
langsung memasang tampang kecewa. “Kok sushi-nya asin gini sih? Katamu enak?”
Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, aku masih berusaha meyakinkan mama.
“Waktu aku ke sini sama temen-temen enak, kok, ma. Nggak tau kok sekarang jadi
kayak gini.” Namanya orang apes ya gini ini. Waktu aku lagi makan sendiri,
rasanya enak banget, kayak dimasak sama chef Gordon Ramsay. Tapi, begitu aku
ngajak mama, eh, rasanya kayak sushi buatan peserta Masterchef yang nggak lolos
100 besar.
Tapi yang jadi pokok pembicaraan bukan Masterchef, juga
bukan chef Gordon Ramsay. Ada satu perkataan mamaku yang tiba-tiba membuat aku
bertanya-tanya. Katanya, “Kalo makanannya keasinan, artinya yang masak minta
kawin!” Aku memang sudah sering mendengar pepatah ini, tapi entah kenapa hari
itu aku bener-bener tersentuh. Aku heran, kenapa masakan yang keasinan identik
dengan orang mau kawin? Gimana kalo yang masak udah kawin? Masa minta kawin
lagi? Kalau dipikir pakai nalar dan logika (walaupun logika anak SMA ingusan)
itu agak nggak masuk akal banget. Mungkin di suatu daerah nun jauh di sana ada
tradisi di mana orang yang nikah bakal ditaburin garam, bukannya bunga. Makanya
kalo suatu masakan keasinan, tandanya dia pingin kawin, pingin ditabur-taburin
garam. Masalahnya, ini Indonesia. Aku nggak pernah tau ada adat seperti itu.
(kalo ada orang Indo yang melakukan hal ini, tolong beri tahu!)
Sampai detik aku menulis posting ini pun, I still have no
idea, kenapa ada pepatah macam itu? Aku nggak menemukan adanya penelitian yang
menunjukkan bahwa menurunnya kemampuan seseorang untuk merasakan rasa asin
dalam masakan merupakan efek dari meningkatnya hormon minta kawin. Atau mungkin
di masa depan salah satu dari kalian bakal mengungkapnya? Itu akan sangat
membantu sekali bagi seluruh umat manusia (baca:saya). I guess, kalian yang
membaca posting ini pun jadinya ikut-ikutan bertanya-tanya. Iya, ya, kenapa ada
pepatah seperti itu? Kenapa penulis posting ini kurang kerjaan membahas pepatah
itu? Apakah penulis mengarang pepatah itu? Apakah penulis kurang waras?
Jawabannya, TIDAK teman-teman. Pepatah itu sungguhan ada, serius. Dan aku
bener-bener murni heran dan kurang kerjaan.
Looks like an open ending here. Aku masih nggak bias
menjabarkan pepatah itu menjadi hal yang logis dan bisa diterima. Jadi, aku
menyerahkan semua teka-teki yang sudah sedikit terkupas ini ke dalam tangan
kalian. I trust you, my loyal readers! You will help me, won’t you?
Its to boring if u start the article describing about the title
ReplyDeleteGoodluck!