Bandara Soekarno-Hatta, Indonesia
Waktu
itu jam baru menunjukkan pukul 05.00 pagi, tapi dia sudah berada di bandara,
menunggu penerbangannya ke Singapura untuk berlibur. Dia di sana bersama
keluarganya. Sambil menunggu, dia mengeluarkan handphone-nya. Setelah bosan mengutak-atik handphone, ia hanya duduk memerhatikan orang-orang di sekitarnya.
Dilihatnya kedua orang tua dan adiknya masih sibuk dengan handphone masing-masing. Begitu juga dengan kebanyakan orang yang
menunggu di sana. Tiba-tiba matanya menangkap suatu pemandangan yang tidak
biasa. Seorang lelaki berwajah cukup menarik dengan hem kotak-kotak berwarna
biru dan celana jins panjang sedang duduk sendirian, menjauh dari keramaian.
Diam-diam, ia menilai penampilan laki-laki itu. Ganteng juga cowok itu. Hidungnya mancung, matanya bagus, alisnya
tebel, badannya juga proporsional. Kira-kira dia udah punya pacar nggak ya?
"Kak, ayo cepetan! Nanti ditinggal pesawat lho," seru adiknya
tiba-tiba. Mau tidak mau, dia menghentikan proses "penjurian"-nya.
Segera ia bangkit dan bergegas menuju boarding
gate, mengikuti adiknya. Namun, di sela-sela perjuangannya menerobos
kerumunan orang, ia masih menyempatkan diri melihat lelaki itu dari ekor
matanya. Tampak lelaki itu berbeda dengan orang kebanyakan. Ia tidak berusaha
menjadi yang pertama masuk ke boarding
gate. Malah, ia hanya berjalan santai mengikuti arus. Jarak antara lelaki
itu dan dia pun semakin jauh sampai akhirnya lelaki itu hilang di tengah
keramaian.
Changi Airport, Singapura
Dua
jam perjalanan memang terkesan sebentar. Tapi, untuk orang dengan fobia
ketinggian mungkin itu adalah cobaan hidup. Tidak terkira betapa leganya dia
ketika menginjakkan kaki di darat setelah penerbangan selama "dua jam yang
mempertaruhkan nyawa". Kemudian, dia mengikuti prosedur umum : melewati
proses imigrasi. Setelah lolos, ia pun menuju tempat pengambilan bagasi.
Diamatinya setiap koper yang lewat di depannya. Anehnya, lagi-lagi matanya
menangkap sosok yang tidak asing. Laki-laki itu. Laki-laki ganteng dengan hem
biru kotak-kotak. Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Dia pun segera memalingkan
mukanya, tidak mau dianggap norak ataupun menakutkan. Namun, diam-diam ia masih
melirik ke arah laki-laki itu. Tak lama kemudian, lelaki itu telah mendapatkan
kopernya dan bergegas pergi. Dalam hati dia sedikit kecewa, masih belum puas
memandangi sosok berbaju biru kotak-kotak itu. Sesaat muncul pikiran gila, apa ini yang namanya jodoh? Tapi segera
ditepisnya pikiran itu, tak mau liburannya terganggu oleh hal yang tidak jelas.
Segera setelah mendapatkan kopernya, ia dan keluarganya pergi ke hotel mereka. The holiday has just begun!
Harbour Front MRT Station, Singapura
Singapura
memang kota maju, tapi penduduknya sama sekali tidak sombong, terutama dalam
hal berkendara. Beda sekali dengan Indonesia. Mobil dan motor senantiasa
memenuhi seluruh ruas jalan. Di Singapura, masyarakatnya lebih memilih untuk
berjalan kaki atau menaiki kendaraan umum. Tak terkecuali dengannya. Untuk
menghemat uang, dia dan keluarganya memilih untuk berjalan kaki atau naik MRT.
Tapi akibatnya, kaki jadi pegel semua karena tidak terbiasa berjalan kaki.
Ditambah lagi, kakinya kesleo ringan setelah jatuh di tangga hotel. Sakitnya
sampai kaki rasanya mau putus. “Aduh, kenapa MRT-nya nggak dateng-dateng sih!”
rutuknya perlahan. Menunggu memang bukan kegiatan favoritnya, apalagi menunggu
dengan kondisi kaki yang “tidak layak”. Seakan kaki saja yang capek tidak
cukup, handphone-nya juga ikut-ikutan capek. Bisa dibayangkan, menunggu tanpa
ditemani handphone di era modern ini seperti cacing kepanasan, gelisah, tak
tahu harus berbuat apa untuk menyibukkan diri. Di sela-sela kegelisahannya,
matanya melihat baju biru kotak-kotak yang sangat familier. Lagi-lagi dia! Kalo di film sih, biasanya cowok itu bakal
ngajak aku kenalan. Terus kita tukeran nomer HP, jadian, dan hidup bahagia
selamanya, batinnya sambil senyum-senyum sendiri. “Heh! Ngapain kamu
senyum-senyum sendiri! Dasar gila! MRT-nya bentar lagi dateng tuh.” seru
adiknya sambil memukul lengannya, menghancurkan imajinasinya. Reflek, ia pun
membalas pukulan adiknya. “Enak aja, kamu itu yang gila!”
Ketika
dia sedang sibuk berdebat, MRT yang akan ditumpanginya datang. Ia pun
menghentikan perdebatannya dan menunggu penumpang turun sambil mengambil posisi
sedekat mungkin dengan pintu MRT agar dia bisa cepat masuk. Dilihatnya, lelaki
itu tidak bergeming. Dengan sabar, atau lebih tepatnya cuek, dia menunggu
setiap penumpang yang turun. Kemudian dengan tenang masuk ke MRT sesuai
giliran. Laki-laki itu memang berbeda dengan orang kebanyakan. Dia tidak pernah
terburu-buru ataupun berdesak-desakan. Ia selalu mengikuti arus. Begitu juga
ketika di dalam kereta, ia memilih menjauh dari kerumunan orang yang berdesakan
di dekat pintu kereta.
Sejak
pertemuan di stasiun MRT itu, ia tidak pernah lagi secara kebetulan bertemu
dengan lelaki itu. Liburannya yang seru juga membuat dia lupa tentang si baju
biru kotak-kotak. Tapi itu hanya sesaat. Terkadang, ia masih teringat dengan
beberapa pertemuannya yang sangat tidak masuk akal jika dianggap kebetulan. Apa ini takdir? Masa dia jodohku? Kalo iya,
nggak apa-apa sih. Habisnya dia ganteng sih!
No comments:
Post a Comment