Friday 29 March 2013

The (too) Salty Dish


Mungkin ketika kalian membaca judul posting ini, kalian berpikir aku akan menjadi seorang kritikus makanan. Well, bagi yang beranggapan seperti itu, kalian salah. Aku nggak mau jadi seorang kritikus, sebuah pekerjaan yang terlalu berat untuk manusia yang tak sempurna seperti aku ini (haha). Tapi memang ada benernya juga sih, aku akan sedikit mengkritik makanan yang beberapa hari lalu aku makan. Hanya sedikit kok, tenang saja.
So, here’s the story. Sekitar 3 hari yang lalu, aku makan sushi (sushi’s one of my favourite foods, just FYI) di sebuah restoran masakan Jepang yang cukup terkenal di kota tempat aku tinggal sekarang. Saat itu, aku mengajak mamaku tercinta yang memang lagi ngidam pingin makan sushi. Aku sudah pernah makan di tempat ini beberapa kali sebelumnya sama temen-temen, tapi nggak pernah pergi sama mama. It was her first time. Awalnya sih, mamaku agak males. Selain restorannya yang cukup jauh dari rumah, nyari parkir di sana juga susah. Tapi, dengan kekuatan bulan (baca:pemaksaan), akhirnya mamaku mau juga makan di sana. Aku berani menjamin bahwa makanan di sana enak dan harganya murah. Berhubung aku adalah anak yang berbakti, jujur, dan rajin menabung, maka mamaku sangat percaya dengan omonganku.
Well, kelihatannya aku sudah mulai melantur lagi, jadi to the point aja deh. Sushi-nya asin banget. Ya, ciyus, asin pake BANGET. Mamaku langsung memasang tampang kecewa. “Kok sushi-nya asin gini sih? Katamu enak?” Dengan senyum yang sedikit dipaksakan, aku masih berusaha meyakinkan mama. “Waktu aku ke sini sama temen-temen enak, kok, ma. Nggak tau kok sekarang jadi kayak gini.” Namanya orang apes ya gini ini. Waktu aku lagi makan sendiri, rasanya enak banget, kayak dimasak sama chef Gordon Ramsay. Tapi, begitu aku ngajak mama, eh, rasanya kayak sushi buatan peserta Masterchef yang nggak lolos 100 besar.
Tapi yang jadi pokok pembicaraan bukan Masterchef, juga bukan chef Gordon Ramsay. Ada satu perkataan mamaku yang tiba-tiba membuat aku bertanya-tanya. Katanya, “Kalo makanannya keasinan, artinya yang masak minta kawin!” Aku memang sudah sering mendengar pepatah ini, tapi entah kenapa hari itu aku bener-bener tersentuh. Aku heran, kenapa masakan yang keasinan identik dengan orang mau kawin? Gimana kalo yang masak udah kawin? Masa minta kawin lagi? Kalau dipikir pakai nalar dan logika (walaupun logika anak SMA ingusan) itu agak nggak masuk akal banget. Mungkin di suatu daerah nun jauh di sana ada tradisi di mana orang yang nikah bakal ditaburin garam, bukannya bunga. Makanya kalo suatu masakan keasinan, tandanya dia pingin kawin, pingin ditabur-taburin garam. Masalahnya, ini Indonesia. Aku nggak pernah tau ada adat seperti itu. (kalo ada orang Indo yang melakukan hal ini, tolong beri tahu!)
Sampai detik aku menulis posting ini pun, I still have no idea, kenapa ada pepatah macam itu? Aku nggak menemukan adanya penelitian yang menunjukkan bahwa menurunnya kemampuan seseorang untuk merasakan rasa asin dalam masakan merupakan efek dari meningkatnya hormon minta kawin. Atau mungkin di masa depan salah satu dari kalian bakal mengungkapnya? Itu akan sangat membantu sekali bagi seluruh umat manusia (baca:saya). I guess, kalian yang membaca posting ini pun jadinya ikut-ikutan bertanya-tanya. Iya, ya, kenapa ada pepatah seperti itu? Kenapa penulis posting ini kurang kerjaan membahas pepatah itu? Apakah penulis mengarang pepatah itu? Apakah penulis kurang waras? Jawabannya, TIDAK teman-teman. Pepatah itu sungguhan ada, serius. Dan aku bener-bener murni heran dan kurang kerjaan.
Looks like an open ending here. Aku masih nggak bias menjabarkan pepatah itu menjadi hal yang logis dan bisa diterima. Jadi, aku menyerahkan semua teka-teki yang sudah sedikit terkupas ini ke dalam tangan kalian. I trust you, my loyal readers! You will help me, won’t you?

Friday 22 March 2013

Jealous

Mungkin posting yang kali ini agak terdengar absurd ya. Setelah lama tidak posting, aku malah menyapa para pembaca setia (baca : pengangguran canggih) dengan posting yang gak jelas. Itulah aku (eh). But, that's okay. Bukan bermaksud gak jelas, walaupun memang gak jelas, berhubung blog ini berisi segala hal yang berasal dari otakku, maka tulisan-tulisan yang ada di blog ini juga sesuai dengan isi otakku. Jika posting kali ini nggak jelas, berarti otakku lagi nggak jelas. Oke, cukup ngelanturnya.
Sebenernya sekarang ini, ato lebih tepatnya akhir-akhir ini aku lagi iri. Iri sama banyak orang. Iri sama orang-orang yang punya pacar (nasib jomblo). Paling iri sama orang yang jatuh cinta, ato nggak usah jauh-jauh, iri sama orang yang naksir orang lain. Iri pake banget. Bukan berarti aku nggak normal. I'm truly really normal. Tapi di masa-masa SMA yang katanya masa di mana cinta bersemi itu, aku malah tidak merasakan cinta. Aku sendiri juga nggak tau sih pernah ngerasakan cinta ato nggak, tapi rasanya aku pernah naksir seseorang, walaupun agak kusesali.
Aku heran, bagaimana bisa seorang cewek ato cowok naksir lawan jenisnya hanya dengan liat muka? Fine-fine aja kalo sebatas ngomong "cowok itu ganteng banget", tapi kalo sampe gak bisa hidup tanpa ngeliat senyumnya cowok itu, menurutku agak alay ya. Maksudnya, si cowok bahkan gak PDKT! Kenapa bisa segitu naksir? Kenapa segitu berharap? Percuma kan, naksir seseorang yang gak menunjukkan tanda-tanda yang jelas kalo orang itu naksir balik. Rugi. Mungkin aku yang aneh. Tapi mungkin juga aku salah satu dari sedikit orang normal di dunia yang penuh orang dimabuk asmara.
Walaupun aku terus menghibur diri dengan mengatakan bahwa aku orang normal yang hidup di dunia abnormal, tetep aja aku iri sama orang-orang abnormal itu. Mereka bisa kelihatan bahagia. Dan normal. Sementara aku? Kesannya aku aneh aja. Hampir semua temenku naksir seseorang. Ada yang ditaksir balik, ada juga yang bertepuk sebelah tangan, tapi masih memperjuangkan. Hebat sekali. Atau malah bodoh sekali?
Aku mungkin aneh. Tapi aku gak bisa menyukai seseorang hanya dari tampang. Nge-fans iya, tapi gak suka, gak sayang. Dan entah kenapa, dari sekian banyak cowok di sekolahku yang katanya temenku ada yang ganteng, tetep aja gak ada satu pun yang menarik hati. Mungkin ada satu orang cowok yang lumayan menarik, tapi aku menyimpulkan kalo aku gak mau naksir dia (nah). Mungkin aku memang aneh. Ada seseorang untuk ditaksir, tapi gak mau. Apa boleh buat. Banyak rintangan menghadang dan aku nggak merasa dia seberharga itu untuk diperjuangkan >:D
Emangnya apa sih ciri-ciri naksir seseorang? Kalo menurut aku, ketika kamu naksir seseorang, kamu pasti pingin diperhatiin sama dia, pingin ngomong-ngomong sama dia, pokoknya pingin deket-deket dia deh. Yang aku rasakan sekarang agak membingungkan sebenernya. Aku pingin diperhatiin dia, tapi aku males ndeketin. Waktu pertama kali ngomong, aku lumayan seneng, tapi sama sekali gak nervous ato deg-deg an. Waktu pertama kali dia nyapa aku, aku seneng banget, tapi selalu aja ada hal yang membuat aku berpikir dua kali untuk naksir sama dia. Nasib ya :')
Mungkin memang aku nggak ditakdirkan untuk jadi seperti orang-orang kebanyakan. Mungkin Tuhan nggak ngebolehin aku naksir orang biar aku bisa konsen belajar. Mungkin aku emang gak boleh naksir orang biar gak sakit hati. Mungkin ini memang yang terbaik buat aku. Mungkin aku memang harus jadi orang normal di antara orang abnormal di dunia ini. Mungkin iya, mungkin tidak.