Thursday 11 September 2014

That Stranger (I)


Bandara Soekarno-Hatta, Indonesia

Waktu itu jam baru menunjukkan pukul 05.00 pagi, tapi dia sudah berada di bandara, menunggu penerbangannya ke Singapura untuk berlibur. Dia di sana bersama keluarganya. Sambil menunggu, dia mengeluarkan handphone-nya. Setelah bosan mengutak-atik handphone, ia hanya duduk memerhatikan orang-orang di sekitarnya. Dilihatnya kedua orang tua dan adiknya masih sibuk dengan handphone masing-masing. Begitu juga dengan kebanyakan orang yang menunggu di sana. Tiba-tiba matanya menangkap suatu pemandangan yang tidak biasa. Seorang lelaki berwajah cukup menarik dengan hem kotak-kotak berwarna biru dan celana jins panjang sedang duduk sendirian, menjauh dari keramaian. Diam-diam, ia menilai penampilan laki-laki itu. Ganteng juga cowok itu. Hidungnya mancung, matanya bagus, alisnya tebel, badannya juga proporsional. Kira-kira dia udah punya pacar nggak ya? "Kak, ayo cepetan! Nanti ditinggal pesawat lho," seru adiknya tiba-tiba. Mau tidak mau, dia menghentikan proses "penjurian"-nya. Segera ia bangkit dan bergegas menuju boarding gate, mengikuti adiknya. Namun, di sela-sela perjuangannya menerobos kerumunan orang, ia masih menyempatkan diri melihat lelaki itu dari ekor matanya. Tampak lelaki itu berbeda dengan orang kebanyakan. Ia tidak berusaha menjadi yang pertama masuk ke boarding gate. Malah, ia hanya berjalan santai mengikuti arus. Jarak antara lelaki itu dan dia pun semakin jauh sampai akhirnya lelaki itu hilang di tengah keramaian.

Changi Airport, Singapura

Dua jam perjalanan memang terkesan sebentar. Tapi, untuk orang dengan fobia ketinggian mungkin itu adalah cobaan hidup. Tidak terkira betapa leganya dia ketika menginjakkan kaki di darat setelah penerbangan selama "dua jam yang mempertaruhkan nyawa". Kemudian, dia mengikuti prosedur umum : melewati proses imigrasi. Setelah lolos, ia pun menuju tempat pengambilan bagasi. Diamatinya setiap koper yang lewat di depannya. Anehnya, lagi-lagi matanya menangkap sosok yang tidak asing. Laki-laki itu. Laki-laki ganteng dengan hem biru kotak-kotak. Tanpa sengaja mata mereka bertemu. Dia pun segera memalingkan mukanya, tidak mau dianggap norak ataupun menakutkan. Namun, diam-diam ia masih melirik ke arah laki-laki itu. Tak lama kemudian, lelaki itu telah mendapatkan kopernya dan bergegas pergi. Dalam hati dia sedikit kecewa, masih belum puas memandangi sosok berbaju biru kotak-kotak itu. Sesaat muncul pikiran gila, apa ini yang namanya jodoh? Tapi segera ditepisnya pikiran itu, tak mau liburannya terganggu oleh hal yang tidak jelas. Segera setelah mendapatkan kopernya, ia dan keluarganya pergi ke hotel mereka. The holiday has just begun!

Harbour Front MRT Station, Singapura

Singapura memang kota maju, tapi penduduknya sama sekali tidak sombong, terutama dalam hal berkendara. Beda sekali dengan Indonesia. Mobil dan motor senantiasa memenuhi seluruh ruas jalan. Di Singapura, masyarakatnya lebih memilih untuk berjalan kaki atau menaiki kendaraan umum. Tak terkecuali dengannya. Untuk menghemat uang, dia dan keluarganya memilih untuk berjalan kaki atau naik MRT. Tapi akibatnya, kaki jadi pegel semua karena tidak terbiasa berjalan kaki. Ditambah lagi, kakinya kesleo ringan setelah jatuh di tangga hotel. Sakitnya sampai kaki rasanya mau putus. “Aduh, kenapa MRT-nya nggak dateng-dateng sih!” rutuknya perlahan. Menunggu memang bukan kegiatan favoritnya, apalagi menunggu dengan kondisi kaki yang “tidak layak”. Seakan kaki saja yang capek tidak cukup, handphone-nya juga ikut-ikutan capek. Bisa dibayangkan, menunggu tanpa ditemani handphone di era modern ini seperti cacing kepanasan, gelisah, tak tahu harus berbuat apa untuk menyibukkan diri. Di sela-sela kegelisahannya, matanya melihat baju biru kotak-kotak yang sangat familier. Lagi-lagi dia! Kalo di film sih, biasanya cowok itu bakal ngajak aku kenalan. Terus kita tukeran nomer HP, jadian, dan hidup bahagia selamanya, batinnya sambil senyum-senyum sendiri. “Heh! Ngapain kamu senyum-senyum sendiri! Dasar gila! MRT-nya bentar lagi dateng tuh.” seru adiknya sambil memukul lengannya, menghancurkan imajinasinya. Reflek, ia pun membalas pukulan adiknya. “Enak aja, kamu itu yang gila!”
Ketika dia sedang sibuk berdebat, MRT yang akan ditumpanginya datang. Ia pun menghentikan perdebatannya dan menunggu penumpang turun sambil mengambil posisi sedekat mungkin dengan pintu MRT agar dia bisa cepat masuk. Dilihatnya, lelaki itu tidak bergeming. Dengan sabar, atau lebih tepatnya cuek, dia menunggu setiap penumpang yang turun. Kemudian dengan tenang masuk ke MRT sesuai giliran. Laki-laki itu memang berbeda dengan orang kebanyakan. Dia tidak pernah terburu-buru ataupun berdesak-desakan. Ia selalu mengikuti arus. Begitu juga ketika di dalam kereta, ia memilih menjauh dari kerumunan orang yang berdesakan di dekat pintu kereta.

Sejak pertemuan di stasiun MRT itu, ia tidak pernah lagi secara kebetulan bertemu dengan lelaki itu. Liburannya yang seru juga membuat dia lupa tentang si baju biru kotak-kotak. Tapi itu hanya sesaat. Terkadang, ia masih teringat dengan beberapa pertemuannya yang sangat tidak masuk akal jika dianggap kebetulan. Apa ini takdir? Masa dia jodohku? Kalo iya, nggak apa-apa sih. Habisnya dia ganteng sih!

Wednesday 10 September 2014

Kisah Tentang Hujan (II)


Udah baca bagian pertama? Kalo belum, baca dulu ;)

Gadis itu dulunya sangat membenci hujan. Baginya, hujan adalah hukuman dari Tuhan supaya dia tidak terus-terusan pergi bersama teman-temannya, tetapi belajar di rumah. Namun, seulas senyum manis dari pemuda tak dikenal mengubah persepsinya tentang hujan. Kini, diam-diam ia menantikan “hukuman” itu. Membayangkan bagaimana hujan mempertemukan mereka dan bermimpi lain kali hujan akan mempertemukan mereka kembali.

“Milly! Kamu udah kerja PR Matematika?” Merasa ditanya, gadis itu pun menjawab, “Emang kita ada PR?” “Ada, dodol! Ayo cepet nyari contekan, 5 menit lagi bel nih,” jawab si gadis penanya yang bernama Tia tersebut. Milly pun segera mengikuti Tia mencari jawaban PR Matematika.

“Mil, tumben kamu tadi nggak kerja PR? Biasanya kamu rajin banget kerja PR.” tanya Tia. “Aku lupa nih, kamu nggak ngingetin sih,” jawab Milly santai. “Nggak salah nih? Kan biasanya kamu yang ngingetin aku. Kamu kenapa sih? Jangan-jangan udah ada gebetan baru ya?” goda Tia. Entah kenapa, Milly menjadi salah tingkah. Mukanya memerah dan ia hanya bisa tersenyum malu. Melihat tingkah laku sahabatnya yang tidak wajar, Tia mengerti bahwa tebakannya benar. “Siapa namanya? Anak sekolah ini? Kamu kok nggak pernah cerita sih,” tanya Tia menginvestigasi. “Gimana mau cerita, aku aja nggak tahu namanya. Aku juga nggak tahu dia sekolah di mana,” jawab Milly lesu. “Hah? Kamu bercanda, Mil? Jangan-jangan kamu ketemu cowok itu di mimpi. Hahaha..” Sebuah cubitan langsung mendarat di lengan Tia. Bukannya kesakitan, tawa Tia malah semakin menjadi-jadi. Mau tak mau, Milly juga ikut tertawa, meskipun dalam hati ia agak setuju dengan perkataan Tia bahwa mungkin laki-laki manis itu memang hanya bisa ia impikan saja.

Lagi-lagi hujan. Padahal bel pulang sekolah baru saja dibunyikan. Akibatnya, banyak murid-murid yang terpaksa menunggu hingga hujan reda, termasuk Milly. Sambil menunggu, ia mengamati guyuran hujan itu dan pikirannya pun langsung tertuju pada seorang pemuda berlesung pipit dengan senyum yang manis. Tiba-tiba, muncul pemikiran gila dalam otaknya, kalau sekarang aku ke perpustakaan, apa aku bisa ketemu lagi sama dia? Tapi akal sehatnya masih berfungsi, gila kamu, Mil! Kamu kira ini sinetron? Ia pun memutuskan untuk tetap menunggu hingga hujan reda. Meskipun dari luar ia tampak tenang, sebenarnya dalam benaknya terjadi perang antara perasaan dan logikanya. Tidak sampai 5 menit, perasaannya menang. Tanpa berpikir lagi, ia langsung membuka payungnya dan menerjang hujan yang masih turun deras. Sesampainya di perpustakaan, Milly tidak menemukan pemuda itu. Ia kecewa, namun memutuskan untuk menunggu di dalam perpustakaan. Diambilnya sebuah novel roman, kemudian duduk di salah satu kursi. Tak seperti biasanya, sebuah novel pun tak mampu menenangkannya. Setelah 20 menit membaca, ia memutuskan untuk pulang saja. Namun, di depan perpustakaan, dia melihat seorang lelaki yang wajahnya tak asing lagi. Melihatnya, lelaki itu tersenyum, memamerkan lesung pipit yang manis. “Hai, nggak nyangka bisa ketemu kamu lagi di sini,” sapanya, masih tersenyum. Milly hanya membalas dengan senyuman. “Masih nggak mau pinjem payung?” tawarnya sambil menyodorkan payung. Milly menggeleng, “Nggak usah, aku udah bawa payung kok.” “Ooh,” jawab lelaki itu singkat, terdengar sedikit kecewa. Kemudian timbul keheningan di antara mereka. Di satu sisi, Milly tidak rela meninggalkan lelaki itu. Di sisi lain, lelaki itu tidak terlihat ingin beranjak. “Omong-omong, kita belum kenalan. Aku Milly. Namamu siapa?” tanya Milly memecah keheningan. “Kevin. Namaku Kevin,” jawab lelaki itu sambil menjulurkan tangan mengajak bersalaman. Tak lupa senyum manisnya ia pertunjukkan. Milly menanggapi ajakan bersalaman itu. Jantungnya berdegup sangat kencang ketika tangannya menggenggam tangan Kevin. “Berarti sekarang kita temenan, kan? Boleh minta nomor HP atau pin BB kamu?” tanya Kevin tiba-tiba. Entah karena terpesona oleh  senyum Kevin atau memang pikirannya sedang tidak waras, Milly langsung memberikan nomor handphone-nya. “Thanks. Nanti kalo aku telepon, diangkat ya,” kata Kevin, senyumnya yang manis masih bertahan di wajahnya. Tanpa terasa hujan sudah reda. Bersamaan dengan itu, mereka pun berpisah, kembali ke rumah masing-masing. Saling melambaikan tangan dengan senyum yang terus merekah.

Seperti sudah ditakdirkan, hujan kembali mempertemukan mereka. Apa ini yang namanya jodoh?

- END -

Wednesday 3 September 2014

Random Quote #5

"Jangan sengaja pergi biar dicari.
Jangan sengaja lari biar dikejar.
Berjuang tak sebercanda itu."
Sudjiwo Tedjo