Thursday 16 August 2018

Indonesia Merdeka!

Related image

Tanggal 17 Agustus 2018, rakyat Indonesia merayakan 73 tahun kemerdekaannya. Berbagai perayaan terjadi, mulai dari upacara, lomba-lomba, pawai, hingga konser kemerdekaan. Selain itu, media sosial juga ramai dengan foto-foto ber-caption nasionalis. Hari ini adalah hari di mana orang yang sehari-harinya memuji dan memuja negara sebelah mendadak mengelu-elukan patriotisme. Hari di mana orang yang gemar mengkritik pemerintah semakin heboh mempertanyakan kemerdekaan. Apakah setelah 73 tahun Indonesia benar-benar merdeka? Ataukah kemerdekaan ini hanyalah status quo?

Beberapa tahun yang lalu, aku pernah menulis tentang kemerdekaan Indonesia (yang penasaran boleh klik di sini). Di post tersebut, aku menulis bahwa Indonesia belum lepas dari penjajahan rakyatnya. Sudah 4 tahun berlalu, tetapi menurutku opini tersebut masih valid. Indonesia (masih) dijajah oleh rakyatnya sendiri. Bertahun-tahun banyak orang menuntut kemerdekaan yang sesungguhnya. Mereka menuntut pendidikan yang merata, kesejahteraan rakyat, keadilan hukum, dan masih banyak lagi. Setiap tahun masalah yang timbul selalu sama. Apakah pemerintah hanya diam saja? Tentu tidak. Pemerintah sudah bekerja keras untuk memenuhi tuntutan rakyat. Namun, tentu saja usaha sekeras apapun tidak akan dihargai apabila tidak ada hasil yang fantastis.

Ketika masyarakat menuntut pemerataan pendidikan, pemerintah menawarkan program wajib belajar 12 tahun. Tujuannya tentu untuk meningkatkan kualitas masyarakat. Sayangnya, muncul berbagai masalah, mulai dari banyaknya sekolah yang kekurangan dana dan kekurangan guru. Lantas apa yang dilakukan oleh rakyat Indonesia? Apalagi kalau bukan mengkritik pemerintah. Ketika pemerintah membutuhkan pasokan guru untuk mengajar di pedalaman, rakyat justru berbondong-bondong pergi ke kota dan mencari pekerjaan kantoran. Ketika masyarakat menuntut kesejahteraan dan kemakmuran, pemerintah berusaha membujuk warga agar mau bertransmigrasi ke daerah yang penduduknya lebih sedikit. Sayangnya, rakyat bersikeras tinggal di kota besar karena ekonomi desa susah 'katanya'. Kalau begini terus bagaimana Indonesia mau merdeka seperti keinginan kalian?

Terkadang, sebagian orang terlalu fokus mengkritik karena mereka sudah terlanjur memiliki doktrin bahwa Indonesia bermasalah dan pemerintahnya korup. Mungkin dilihat dari beberapa statistik, Indonesia memang memiliki rekor yang cukup memprihatinkan. Namun, sisi positifnya adalah Indonesia bukanlah yang terburuk dan masih memiliki potensi yang sangat besar untuk berkembang. Masalahnya, siapa yang bisa membantu Indonesia untuk semakin maju? Apakah pemerintah yang mungkin hanya 0.01% dari total penduduk harus bertanggung jawab? Jika kita sebagai warga negara yang baik ingin membantu Indonesia untuk menjadi lebih baik, bagaimana jika dimulai dengan mempercayai pemerintah kita?

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih banyak cela dalam pemerintahan kita, tetapi kita harus percaya bahwa pasti ada orang-orang yang memang tulus ingin memajukan Indonesia di sana. Daripada kita sibuk mengkritik pemerintah yang belum tentu mendengarkan, lebih baik kita yang mulai berusaha untuk mengharumkan nama Indonesia. Karena ketika kita berlebihan dalam mengkritik ataupun menjelekkan pemerintah, maka hal ini bisa jadi mempengaruhi pemikiran orang lain sehingga mereka tidak lagi percaya pada kebijakan pemerintah. Bukankah lebih menyenangkan bila kita mengisi kemerdekaan dengan hal-hal yang menyenangkan negeri ini? Belajar dan bekerja dengan tekun, mematuhi Undang-Undang, taat membayar pajak, dan saling menghormati antarwarga. Kira-kira butuh berapa tahun sampai rakyat Indonesia puas dan merasa merdeka? Sampai kapan kita mau menjajah bangsa kita sendiri?

Thursday 26 July 2018

Academic vs. Non-Academic

As students, it is our duty to study and get good grades (or maybe just pass). But as human beings, socialization is our need. Sometimes we struggle to maintain our grades while keeping our social life on track. And it's become our eternal burden to keep the academic and social life balanced. In this post, I want to share my way of balancing the academic and non-academic life as a student. It might not apply to your personality or condition, but still, I hope that my story can enlighten you a little :)

Everybody gets their own ways balancing study and social life, and so do I. For me, I chose organization as a part of my social life. I'm not saying that it's the best option, but it is indeed an option you should consider if you feel that you need to improve your intrapersonal and interpersonal skills -- or in a much simpler way: if you are not ready for the real world. Just so you know, for the past 20 years of my life, I have always been questioning my capabilities and characters. And I thought maybe joining organizations can help me improve myself. So, how exactly do those organization experiences change my life?

First of all, I was born a 100% introvert and shy person. What a perfect combination right? I don't really like interacting with people and is not brave enough to approach somebody. As a result, I have very few friends from elementary school. My parents were so worried because I was so silent and anti-social that they took me to a psychologist. I didn't know if the therapy did work though. What's certain was that my social life got better in junior high. I did join OSIS (student organization) in junior high, but it didn't really affect my social life in my opinion. Yes, I got some good friends because of OSIS, but that's it. The most memorable moment of my junior high was when I joined the school band. Since our main topic is not about the band, I'll just say that being in the school band helped me a lot in improving my self-esteem and social skill. But my interest in school organization grew since then because I felt that I might get to learn some skills that benefit me in the long run from joining an organization. This surely was a turning point for the old shy-and-over-introverted-me.

In the high school, my social skill has got better and I didn't really struggle to get new friends. Although I tend to keep my inner circle small, I've got quite lots of acquaintances. This time, I joined OSIS again, hoping to improve my soft-skills. My high school life pretty much was filled with studying and lots of committees. It was undoubtedly tiring and time-consuming, but I enjoyed it so much! And I was definitely well-equipped with some essential soft-skills needed for my future, like public speaking, presentation, and event-organizing skills, also some lobbying stuff. Somehow, after all those high school organization experiences, I felt like I was actually better than who I thought I was. And that I am capable of something bigger. Do you know that feeling? When you feel like you actually deserve to be the main character of your life, that you are more than just the sidekick. Maybe this tips can be useful for you if you ever feel small or incompetent: try to improve yourself, learn something new, practice more, and always aim to be the better version of yourself EVERYDAY.

Now, in the university, I've got my self-esteem and skills. So what? Am I a cool kid now? Well, I think 'being cool' is just not for everyone. I still don't like to socialize that much. Then, I knew that being in an organization is just my thing, something like a hobby. Again, I found myself signing up for the university student association for two years. Throughout those years, my critical thinking skill surely improved a lot. I learned so much about conceptual thinking, troubleshooting, and decision making. Besides, I acquired more knowledge about people and myself. I can see myself getting better at building new relationships as well as controlling my thoughts.

Actually, that self-improvement stuff is not the best thing that you can get from an organization. I am happy that I can be a better person after joining so many organizations. But, besides that, the memories that remained are way more valuable. I think most of the school/university student association encompasses kinship and strong bond between its members. And that's exactly what I felt throughout my organization journey. I knew that there were people who through the same struggle with me and that kind of relieving knowing that you are not alone, right? Knowing that you always got somebody to back you up, or at least to cry and cheer together. I can't deny that as a social creature, I need that kind of support in my life. I can say that those people are the ones who keep me sane throughout the past years.

At this point, you should know that I chose organization as a part of my social life because I like it and I surely got the most out of it. Is an organization experience worth more than real job experience, such as part-time? Of course not. Both of them could mold you into a better person, but that depends solely on yourself. The point is, choose activities that upgrade your old incompetent and inexperienced self. I also want to remind you not to blame anyone or anything, but you. There's no excuse to keep your weakness because the real world doesn't care about it. You know that humans are capable of many crazy and amazing things, right? This part is especially dedicated to you who think that introverts and socially-awkward people are damned. You can change yourself because I can.

To end this long and soon-to-be-boring post, I'm going to wrap things up. First, academic and social life are both VERY IMPORTANT. And you should find a way to balance them. There are plenty of options you can choose, either the "conventional" organization or the "fun" real job. Let's get down to the nitty-gritty: find activities that improve you - either in character or skills - but always be eager to be a better person. And another warning, don't let all these "be a better person" stuffs stress you out, rather find the one that makes you happy and enjoy your life more. Because YOU deserve to be happy ;)

Wednesday 4 July 2018

Life as A Mathematician

Hai! Perkenalkan, aku penulis blog ini dan aku adalah seorang mahasiswa jurusan Matematika Terapan di sebuah universitas swasta di Tangerang. Meskipun aku yakin pasti udah banyak dari kalian yang tahu mengenai 'trend' jurusan Matematika, tapi sampai sekarang pun masih ga jarang orang yang begitu tahu aku anak Matematika pasti nanya "Oh mau jadi guru/dosen ya?". Oke om/tante/kakak/adik, aku gamau jadi guru ato dosen ato guru les. Supaya kalian dapet gambaran sedikit soal jurusanku, silakan klik di sini.

Jadi sekarang udah tahu kan kalo anak Matematika ga cuma bisa jadi guru? Aku memutuskan buat berbagi pengalaman soal kehidupan perkuliahanku karena aku udah memasuki taun (hampir) terakhir kuliah jadi aku ngerasa udah cukup bisa diandalkan HEHE. Ngga sih. Sebenernya karena baru ada keinginan buat nulis sekarang aja. Lupakan alesan aku mau sharing karena itu ga terlalu penting dan lebih baik kita langsung masuk ke pokok pembicaraan.

1. Kenapa pilih jurusan Matematika? Suka hitung-hitungan ya?
Bener, Matematika adalah salah satu pelajaran favorit aku pas sekolah karena aku biasanya dapet nilai bagus di situ. Tapi, sebenernya aku suka banget Biologi dan sempet kepikiran masuk jurusan Bioteknologi. Cuma begitu merasakan pahitnya pelajaran Biologi SMA, impian itupun kandas. Akhirnya, aku mutusin buat masuk Matematika karena waktu itu lagi booming aktuaria dan harusnya di jurusan ini ga ada Fisika lah ya (tapi bohong).

2. Jurusan Matematika susah ngga? Pasti bosen ya tiap hari ketemu angka?
Seiring dengan bertambah lamanya kamu kuliah Matematika, kamu bakal ngerasa bersyukur banget kalo bisa ketemu lebih banyak angka dibanding huruf (if you know what I mean). Atau kalo mau pake bahasa awam, SUSAH BANGET LAH GILA YA. Bukan susah ngitung, bukan susah nyederhanain aljabar, tapi susahnya udah sesusah ngertiin pacar kamu. Saran aku, jangan masuk jurusan ini cuma karena iming-iming gaji gede. Kalo kalian ga punya ketekunan lebih dan mental yang kuat, mending cari jurusan lain aja :)

3. Belajar apa aja di jurusan Matematika?
Kalo kata dosen aku, belajar pake keringat dan darah buat nyelesain soal.
Well, ngga se-ekstrem itu juga sih. Di tahun pertama kalian bakal belajar 'hitung-hitungan' kaya kalkulus, aljabar linier, logika, sama sedikit pengantar untuk software matematika. Memasuki tahun kedua, ini adalah masa di mana angka semakin jarang ditemui. Sebagian besar mata kuliah tahun ini akan melibatkan pembuktian, teorema, definisi, dkk. Misalnya, ada namanya mata kuliah Analisis Real di mana kamu disuruh buktiin kenapa 1-1=0. Mantap bukan. Ada juga mata kuliah Persamaan Diferensial Biasa dan Metode Matematika yang kamu ngitung huruf terus tiba-tiba bisa berubah jadi angka. Bingung? Buktikan sendiri di jurusan Matematika ;). Di tahun ketiga atau tahun terakhir, kalau di universitas aku biasanya lebih ke mata kuliah peminatan. Kurang lebih sama kaya tahun kedua, cuma 5x lebih susah aja. Biasanya di tahun-tahun ini skill bertahan hidup kalian udah cukup terasah biar bisa 'lolos'.

4. Bener ga kalo lulusan Matematika gajinya tinggi?
Maybe yes. Maybe no. Gatau karena aku belom kerja. Tapi yang pasti, kalo kamu kuliah cuma karena pengen dapet gaji tinggi, ujung-ujungnya pasti bakal kecewa. Dunia ini keras guys. Mungkin memang lulusan Matematika gajinya di atas rata-rata, tapi ya bukan berarti pertama kali kerja langsung digaji 20jt kan? Jurusan apapun, asal kamu niat waktu kuliah, pasti nanti kerjanya juga digaji sesuai dengan usaha kamu. Jadi, biar kamu dapet gaji tinggi dengan masuk jurusan Matematika, pastiin IPK kamu tinggi atau lulus ujian sertifikasi sebanyak mungkin.

5. Gimana cara bertahan di jurusan Matematika?
Ngga terlalu beda sama jurusan lain sih. Asal kamu tekun dan pantang menyerah pasti bisa lulus kok. Kamu nggak terlalu pinter? No problem. Kamu males? Masih bisa. Kamu nggak pinter dan males? Percayalah mujizat itu ada. Kalo mau dirangkum, kurang lebih ini tips buat bertahan di jurusan Matematika (bisa diaplikasikan untuk semua jurusan):
  • Banyak doa (karena Tuhan yang ngatur semuanya)
  • Baik-baik sama dosen (karena dosen satu level di bawah Tuhan)
  • Banyak belajar/latihan soal (abaikan kalo kamu orangnya males)
  • Banyak bergaul (biar gampang dapet pinjeman catetan/contekan--> TIDAK DISARANKAN)
  • Ikut organisasi (biar ada nilai plus kalo IPK kamu jelek)

6. Nyesel ga masuk jurusan Matematika?
Tentu saja tidak. Ini 100% jujur kok, percayalah. Meskipun ada masanya aku mikir kalo aku salah jurusan, apalagi pas dapet mata kuliah yang abstrak dengan dosen lebih abstrak, tapi tetep aja aku ga bisa ngebayangin gimana kalo aku masuk jurusan lain. Bahkan aku bersyukur banget akhirnya milih Matematika dibanding Bioteknologi karena di jurusan ini ga ada yang namanya lab dan bikin laporan tiap minggu. Bisa dibilang jurusan Matematika itu kaya SMA cuma pelajarannya 1.000x lebih sulit aja :). Gimana ngga? Kerjaannya cuma dateng kelas, ngerjain PR, ngerjain kuis, latihan soal, gitu-gitu aja sampe lulus. Bikin makalah juga hampir ngga pernah kecuali buat mata kuliah umum. Modal cuma butuh alat tulis (bisa minjem), buku/kertas (bisa minta temen), laptop (bisa minjem juga sih...), sama akal sehat (YANG INI HARUS PUNYA). Mana mungkin nyesel, kan?

7. Pesan buat anak yang mau masuk Matematika?
Sebenernya Matematika itu ngga sulit kok. Cuma butuh rajin, tekun, sama pinter dikit.
Dosen-dosen aku selalu bilang, kunci supaya bisa bertahan di jurusan ini ya cuma rajin-rajin latihan soal aja. Kalo mau lebih rajin lagi, baca buku atau cari bahan di Internet. Tapi, kalo kamu udah punya dasar rasa suka sama Matematika atau paling ngga nilai Matematika kamu selama sekolah bagus, itu udah cukup. Dan prospek jurusan ini bisa dibilang masih bagus kok. Ngga cuma aktuari aja, ada juga profesi data scientist atau data analyst yang sekarang banyak dicari dan itu semua dasarnya juga Matematika. Intinya, jangan ragu buat masuk jurusan Matematika dan jangan takut!

Tuesday 19 June 2018

As We Grow

As we grow older,
24/7 is just not enough
5 or 10 hours of sleep feels the same
2 or more jobs can’t suffice

As we grow mature,
anxiety got bigger
freedom suffocates
the future becomes intimidating 

As we grow wiser,
it’s quality over quantity
happiness values more than anything
though reality slaps hard

As we grow tougher,
cuts and scars won’t bother
hate only exhausts
because forgiveness did the magic

Thursday 17 May 2018

#KamiTidakTakut

Image result for aksi 1000 lilin surabaya

Seminggu terakhir ini, Indonesia digemparkan dengan insiden pengeboman di Surabaya. Ditambah lagi, masih ada ancaman bom yang belum diketahui kebenarannya. Semua orang dihimbau untuk tetap waspada dan menghindari bepergian ke tempat ramai. Sekolah-sekolah diliburkan, ibadah dihentikan, bahkan mall yang biasanya ramai pun mendadak sepi. Semua ini terjadi karena perbuatan teroris yang tidak berperikemanusiaan.

Pernahkah terlintas di pikiran kalian, mengapa insiden seperti ini harus terjadi? Mengapa ada orang yang setega itu membunuh orang yang bahkan tidak dikenalnya atas nama agama? Mengapa ada teroris? Apa tujuan mereka menjadi teroris? Sebelum kita mencari tahu tujuannya, akan lebih baik jika kita tahu apa sebenarnya definisi terorisme. Dalam Sidang Umum PBB, telah disetujui bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah tindakan kriminal yang ditujukan untuk memprovokasi teror kepada masyarakat umum, sekelompok orang, atau orang tertentu demi tujuan politik tertentu. Dijelaskan juga bahwa terorisme adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, baik karena alasan politik, filosofis, agama, ideologi, ras, etnis, dan lain-lain. Dari definisi saja sudah jelas bahwa terorisme salah dari sudut pandang mana pun. Dan sudah jelas bahwa terorisme tidak dilakukan hanya sekedar karena kebencian. Lalu, apa 'tujuan politik' dari terorisme sebenarnya? Dalam kasus pengeboman Surabaya, mungkin jawaban yang paling jelas atau pendapat yang paling sering terdengar adalah: menjadikan Indonesia negara Islam. Kita tidak bisa tahu pasti kebenaran dari pendapat tersebut, tapi yang jelas mereka ingin memecah belah bangsa ini.

Dalam suatu artikel di GlobalPolicyJournal.com, dituliskan bahwa terorisme adalah alat yang efektif untuk memecah belah kelompok atau negara. Contohnya, karena pengeboman kemarin, pasti ada saja orang yang menyalahkan agama atau ras. Pasti ada orang yang merasa pemerintah atau kepolisian kurang tanggap dan tidak bisa melindungi rakyatnya. Tapi, apakah dengan ini saja cukup untuk menggulingkan pemerintah? Tentu tidak. Pemerintah, bahkan di negara seperti Indonesia pun yang pemerintahannya seringkali dipertanyakan, tidak akan semudah itu diambil alih. Dan hal ini diketahui dengan jelas oleh para teroris. Bisa dibilang, dampak-dampak kecil dari terorisme menjadi 'penyemangat' bagi mereka. Dampak kecil seperti, ada golongan tertentu yang dikucilkan, menurunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah, sampai ketakutan masyarakat yang semakin bertambah melalui aksi terorisme berulang kali yang membuat para teroris itu bertahan. Mereka akan mulai dari kelompok yang kecil dan lama kelamaan pengikut mereka akan bertambah melalui aksi terorisme. Bagaimana mungkin?

Ada suatu teori yang mengatakan bahwa terorisme, khususnya yang dilakukan atas dasar agama Islam, umumnya bertujuan untuk mencegah asimilasi budaya Islam dengan budaya lain. Atau bisa dikatakan mereka ingin agar umat Islam tidak 'tercemar' dengan budaya yang menurut mereka tidak pantas. Dengan melakukan teror yang membawa nama agama Islam, maka hal ini akan membuat umat Islam dibenci dan mungkin dikucilkan dari masyarakat. Umat Islam yang tidak tahu apa-apa dan hanya terkena dampaknya secara tidak langsung dipaksa untuk hidup hanya dengan kelompok Islam saja karena mereka ditolak oleh kelompok lain. Situasi semacam ini yang menjadi celah bagi kelompok teroris untuk menambah pengikutnya.
Dalam ilustrasi lain, teror yang dilakukan terus menerus membuat masyarakat mempertanyakan pemerintahnya. Di sini, ada dua kemungkinan. Yang pertama, masyarakat yang merasa tertindas akan memilih untuk mengikuti pihak yang menurut dia lebih kuat atau bisa memberikan rasa aman. Kedua, situasi ini mendesak pemerintah untuk melakukan negosiasi dengan kelompok teroris. Meskipun negosiasi tidak berarti pemerintahan suatu negara hancur, tetapi paling tidak bisa meletakkan kelompok teroris ke dalam posisi yang semakin kuat dan semakin susah dimusnahkan.

Sekarang kita tahu bahwa terorisme jauh lebih mengerikan dari sekedar aksi kebencian. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat biasa? Jika melihat pada kejadian pengeboman di Surabaya kemarin, kita tahu bahwa masyarakat dari berbagai pelosok Indonesia turut bersimpati. Berbagai ucapan belasungkawa, post di media sosial, hingga donasi bermunculan. Namun, apakah itu cukup? Banyak orang menggunakan hashtag #kamitidaktakut #SuroboyoWani dan berbagai hashtag menguatkan lainnya. Lantas kenapa? Mungkin kita yang tidak merasakan langsung bisa dengan mudah menggunakan hashtag tersebut. Tapi bagaimana dengan keluarga para korban? Atau bahkan di lingkup yang lebih luas, warga kota Surabaya? Apakah dengan hashtag tersebut mereka jadi berani? Tentu tidak. Mereka masih diselimuti duka dan ketakutan. Menyuruh atau meminta para korban untuk menjadi berani adalah hal yang sia-sia karena mereka tidak mungkin tidak takut dan mereka berhak untuk takut.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh kita, masyarakat awam, baik dari anak-anak sampai orang dewasa, untuk mencegah penyebaran terorisme. Beberapa contohnya (untuk versi lebih lengkap klik di sini):

  • Segera laporkan ke pihak yang berwajib jika ada aktivitas atau kelompok yang mencurigakan
  • Jangan sembarangan menyebarkan berita, terutama yang berhubungan dengan terorisme
  • Jika terjadi kasus terorisme, jangan menyebarkan ketakutan! Misalnya, menyebarkan foto atau video korban
  • Kenali orang-orang di sekitar lingkungan rumahmu, supaya kalian bisa lebih waspada dan saling berbagi informasi jika ada hal yang aneh
  • Belajar P3K, supaya bisa membantu korban
  • Banyak-banyak berdoa karena hanya Tuhan yang bisa mengalahkan teroris
Kesimpulan dari artikel yang panjang dan mungkin tidak mudah dimengerti ini adalah, terorisme tidak berbicara tentang kebencian antargolongan. Jadi, daripada kita saling menyalahkan agama satu sama lain, lebih baik kita bersama-sama berusaha mencegah terorisme menyebar lebih luas lagi :) Dan yang tidak kalah penting, tetap waspada!

Sources: 

Friday 11 May 2018

Real Friend

Photo credit: HuffingtonPost.com

Kalian semua pasti familier dengan istilah "fake friends" kan? Fake friends atau temen palsu ini biasanya identik dengan "temen" yang dateng atau nyariin kita kalau lagi ada perlunya aja. Dan temen-temen semacam inilah yang berusaha kita hindari karena cuma bisa nyusahin dan bikin emosi. Tapi, apakah kita bener udah judge mereka sebagai "fake friends"?

Pertama-tama, coba kita lihat ke akar permasalahannya dulu. Fake friends muncul karena kita (atau mereka) berusaha untuk menjalin hubungan pertemanan. Kenapa kita butuh temen? Karena kita makhluk sosial. Apa itu makhluk sosial? Makhluk yang hidup berkelompok, selalu berinteraksi dengan sesamanya, dan saling membutuhkan satu sama lain. Do you get the idea?

Sesungguhnya, pertemanan sendiri muncul karena adanya kebutuhan. Tetapi, ketika kita dan temen kita memiliki kebutuhan yang sama, maka kita melihatnya sebagai "real friends". Sementara jika kebutuhan itu berat sebelah, kita akan menganggap orang tersebut sebagai "fake friends". Coba kalian renungkan ilustrasi di bawah ini:

Nana adalah seorang mahasiswi sosialita dan populer. Dia terkenal memiliki banyak sekali teman, tapi ketika disinggung, dia selalu menjawab, "Ah, sebenernya real friends aku cuma dikit kok bisa dihitung pake jari. Sisanya sih fake semua, cuma muncul kalo butuh bantuan doang." Suatu hari, salah satu temennya yang kepo tanya, "Na, sebenernya lu nganggep gue real friends ato fake friends sih?" Nana ketawa sebentar terus menjawab, "Lu gila ya? Kalo lu aja gue anggep fake, terus siapa lagi yang real? Cuma lu yang selalu mau nemenin gue ngafe, shopping, bahkan pas gue nge-date pun lu tetep mau temenin. Lu juga selalu siap buat dengerin curhat gue, nenangin gue waktu sedih. Banyak lah jasa lu buat gue!" Dan temennya hanya bisa tersenyum sambil berpikir: kok kayanya dia yang fake ya?

Apakah definisi real friends kalian sama dengan Nana? Selama ini kita berpikiran bahwa real friends adalah temen yang selalu ada dan siap kapanpun buat kita. Tanpa disadari sesungguhnya yang kita tekankan di sini adalah bagaimana temen kita bisa membantu/memenuhi kebutuhan kita. Jadi sebenernya yang fake siapa?

Mungkin sampai di sini beberapa dari kalian merasa bingung atau jadi merenung apakah kalian udah menjadi temen yang baik. Mungkin sebagian dari kalian merasa bahwa pemikiran aku aneh dan lebay. Untuk menghindari hujatan lebih lanjut, aku mau menekankan: nggak ada salahnya berteman karena kebutuhan. Banyak ahli, terutama psikolog, yang menyimpulkan bahwa kebutuhan sosial itu cukup krusial bagi kehidupan manusia. Menurut Teori Maslow (ceritanya biar keren kaya mahasiswa beneran gitu), kebutuhan sosial berada pada tingkat ketiga dari lima tingkat kebutuhan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan sosial memang cukup urgent untuk dipenuhi.

Oke, sekarang kalian tahu bahwa manusia berteman karena kebutuhan dan kebutuhan itu harus dipenuhi. Jadi kita bisa anggap semua orang real friends dong? Nggak juga, karena manusia sudah jatuh dalam dosa sehingga tak satupun dari mereka adalah benar. Maksudnya, tentu nggak semua orang berteman sama kita setulus itu, tapi apakah mereka fake? Sedikit saran, daripada melabeli seseorang "fake friend" lebih baik kita menganggap mereka "temen yang nggak peka". Kamu nggak pernah tau apa yang ada di pikiran seseorang. Bisa aja orang yang kamu anggep fake, selalu minta bantuan kamu karena emang cuma kamu yang bisa dia andalkan, sayangnya kamu kurang asik buat jadi sahabat gaul dia :(

Kesimpulannya, jangan semudah itu melabeli seseorang sebagai "fake friends" karena bisa aja asumsi/pemikiran kamu tentang mereka itu salah. Kamu nggak pernah tau kan kalo temen curhat kamu sebenernya cape dengerin kamu curhat dan drama? Untungnya, label "persahabatan" membuat seseorang lebih kuat dalam menghadapi tingkah laku menyebalkan dari sahabatnya. Dan yang terpenting, jangan membenci temen yang nggak peka (atau kalian masih tetep mau pake istlah "fake friends"? Terserah) karena lebih baik ada yang nyariin dibanding nggak sama sekali :)

Monday 7 May 2018

Come Back


It’s been a while since the last time I wrote something on this blog. Or I can say, that’s the last time I was diligent and passionate enough to verbalize my thoughts. Yes, I have been lazy. No, I’m not dead or sick or amnesia. I won’t say that I was too busy with my life because I believe nobody will ever be ‘too busy’ if you are willing to make time for something. In this case, I didn’t spare anytime to write or to think about my blog. Therefore, I’m here to plead myself guilty.

For the past year, of course I was busy with university stuff. Basically, what I have done for the last one and a half years was studying (for good grades), attending organization meetings (to develop interpersonal skill), sleeping (to keep me sane), and eating (to make me happy). What a productive year, huh? I know it’s kind of pathetic, but I struggled enough to keep my life balanced. So here I am, in my last year of university (I hope), trying to make the best out of it. That’s why I decided to start writing in this blog again. And this time, I want to be more dedicated since I supposedly have lots of free time. For me, writing is the way I tell my story and my thoughts because, in everyday life, I am too shy to actually speak up. And I feel happy to know that people read my writings. In conclusion, I’m trying my best to be able to update this blog more regularly since I don’t want my free time to go to waste. I hope you who read this won’t fall to the lazy-and-unproductive hole like me :) If you do, get up, there’s still time to change!