Thursday 17 May 2018

#KamiTidakTakut

Image result for aksi 1000 lilin surabaya

Seminggu terakhir ini, Indonesia digemparkan dengan insiden pengeboman di Surabaya. Ditambah lagi, masih ada ancaman bom yang belum diketahui kebenarannya. Semua orang dihimbau untuk tetap waspada dan menghindari bepergian ke tempat ramai. Sekolah-sekolah diliburkan, ibadah dihentikan, bahkan mall yang biasanya ramai pun mendadak sepi. Semua ini terjadi karena perbuatan teroris yang tidak berperikemanusiaan.

Pernahkah terlintas di pikiran kalian, mengapa insiden seperti ini harus terjadi? Mengapa ada orang yang setega itu membunuh orang yang bahkan tidak dikenalnya atas nama agama? Mengapa ada teroris? Apa tujuan mereka menjadi teroris? Sebelum kita mencari tahu tujuannya, akan lebih baik jika kita tahu apa sebenarnya definisi terorisme. Dalam Sidang Umum PBB, telah disetujui bahwa yang dimaksud dengan terorisme adalah tindakan kriminal yang ditujukan untuk memprovokasi teror kepada masyarakat umum, sekelompok orang, atau orang tertentu demi tujuan politik tertentu. Dijelaskan juga bahwa terorisme adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun, baik karena alasan politik, filosofis, agama, ideologi, ras, etnis, dan lain-lain. Dari definisi saja sudah jelas bahwa terorisme salah dari sudut pandang mana pun. Dan sudah jelas bahwa terorisme tidak dilakukan hanya sekedar karena kebencian. Lalu, apa 'tujuan politik' dari terorisme sebenarnya? Dalam kasus pengeboman Surabaya, mungkin jawaban yang paling jelas atau pendapat yang paling sering terdengar adalah: menjadikan Indonesia negara Islam. Kita tidak bisa tahu pasti kebenaran dari pendapat tersebut, tapi yang jelas mereka ingin memecah belah bangsa ini.

Dalam suatu artikel di GlobalPolicyJournal.com, dituliskan bahwa terorisme adalah alat yang efektif untuk memecah belah kelompok atau negara. Contohnya, karena pengeboman kemarin, pasti ada saja orang yang menyalahkan agama atau ras. Pasti ada orang yang merasa pemerintah atau kepolisian kurang tanggap dan tidak bisa melindungi rakyatnya. Tapi, apakah dengan ini saja cukup untuk menggulingkan pemerintah? Tentu tidak. Pemerintah, bahkan di negara seperti Indonesia pun yang pemerintahannya seringkali dipertanyakan, tidak akan semudah itu diambil alih. Dan hal ini diketahui dengan jelas oleh para teroris. Bisa dibilang, dampak-dampak kecil dari terorisme menjadi 'penyemangat' bagi mereka. Dampak kecil seperti, ada golongan tertentu yang dikucilkan, menurunnya kepercayaan masyarakat pada pemerintah, sampai ketakutan masyarakat yang semakin bertambah melalui aksi terorisme berulang kali yang membuat para teroris itu bertahan. Mereka akan mulai dari kelompok yang kecil dan lama kelamaan pengikut mereka akan bertambah melalui aksi terorisme. Bagaimana mungkin?

Ada suatu teori yang mengatakan bahwa terorisme, khususnya yang dilakukan atas dasar agama Islam, umumnya bertujuan untuk mencegah asimilasi budaya Islam dengan budaya lain. Atau bisa dikatakan mereka ingin agar umat Islam tidak 'tercemar' dengan budaya yang menurut mereka tidak pantas. Dengan melakukan teror yang membawa nama agama Islam, maka hal ini akan membuat umat Islam dibenci dan mungkin dikucilkan dari masyarakat. Umat Islam yang tidak tahu apa-apa dan hanya terkena dampaknya secara tidak langsung dipaksa untuk hidup hanya dengan kelompok Islam saja karena mereka ditolak oleh kelompok lain. Situasi semacam ini yang menjadi celah bagi kelompok teroris untuk menambah pengikutnya.
Dalam ilustrasi lain, teror yang dilakukan terus menerus membuat masyarakat mempertanyakan pemerintahnya. Di sini, ada dua kemungkinan. Yang pertama, masyarakat yang merasa tertindas akan memilih untuk mengikuti pihak yang menurut dia lebih kuat atau bisa memberikan rasa aman. Kedua, situasi ini mendesak pemerintah untuk melakukan negosiasi dengan kelompok teroris. Meskipun negosiasi tidak berarti pemerintahan suatu negara hancur, tetapi paling tidak bisa meletakkan kelompok teroris ke dalam posisi yang semakin kuat dan semakin susah dimusnahkan.

Sekarang kita tahu bahwa terorisme jauh lebih mengerikan dari sekedar aksi kebencian. Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai masyarakat biasa? Jika melihat pada kejadian pengeboman di Surabaya kemarin, kita tahu bahwa masyarakat dari berbagai pelosok Indonesia turut bersimpati. Berbagai ucapan belasungkawa, post di media sosial, hingga donasi bermunculan. Namun, apakah itu cukup? Banyak orang menggunakan hashtag #kamitidaktakut #SuroboyoWani dan berbagai hashtag menguatkan lainnya. Lantas kenapa? Mungkin kita yang tidak merasakan langsung bisa dengan mudah menggunakan hashtag tersebut. Tapi bagaimana dengan keluarga para korban? Atau bahkan di lingkup yang lebih luas, warga kota Surabaya? Apakah dengan hashtag tersebut mereka jadi berani? Tentu tidak. Mereka masih diselimuti duka dan ketakutan. Menyuruh atau meminta para korban untuk menjadi berani adalah hal yang sia-sia karena mereka tidak mungkin tidak takut dan mereka berhak untuk takut.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan oleh kita, masyarakat awam, baik dari anak-anak sampai orang dewasa, untuk mencegah penyebaran terorisme. Beberapa contohnya (untuk versi lebih lengkap klik di sini):

  • Segera laporkan ke pihak yang berwajib jika ada aktivitas atau kelompok yang mencurigakan
  • Jangan sembarangan menyebarkan berita, terutama yang berhubungan dengan terorisme
  • Jika terjadi kasus terorisme, jangan menyebarkan ketakutan! Misalnya, menyebarkan foto atau video korban
  • Kenali orang-orang di sekitar lingkungan rumahmu, supaya kalian bisa lebih waspada dan saling berbagi informasi jika ada hal yang aneh
  • Belajar P3K, supaya bisa membantu korban
  • Banyak-banyak berdoa karena hanya Tuhan yang bisa mengalahkan teroris
Kesimpulan dari artikel yang panjang dan mungkin tidak mudah dimengerti ini adalah, terorisme tidak berbicara tentang kebencian antargolongan. Jadi, daripada kita saling menyalahkan agama satu sama lain, lebih baik kita bersama-sama berusaha mencegah terorisme menyebar lebih luas lagi :) Dan yang tidak kalah penting, tetap waspada!

Sources: 

Friday 11 May 2018

Real Friend

Photo credit: HuffingtonPost.com

Kalian semua pasti familier dengan istilah "fake friends" kan? Fake friends atau temen palsu ini biasanya identik dengan "temen" yang dateng atau nyariin kita kalau lagi ada perlunya aja. Dan temen-temen semacam inilah yang berusaha kita hindari karena cuma bisa nyusahin dan bikin emosi. Tapi, apakah kita bener udah judge mereka sebagai "fake friends"?

Pertama-tama, coba kita lihat ke akar permasalahannya dulu. Fake friends muncul karena kita (atau mereka) berusaha untuk menjalin hubungan pertemanan. Kenapa kita butuh temen? Karena kita makhluk sosial. Apa itu makhluk sosial? Makhluk yang hidup berkelompok, selalu berinteraksi dengan sesamanya, dan saling membutuhkan satu sama lain. Do you get the idea?

Sesungguhnya, pertemanan sendiri muncul karena adanya kebutuhan. Tetapi, ketika kita dan temen kita memiliki kebutuhan yang sama, maka kita melihatnya sebagai "real friends". Sementara jika kebutuhan itu berat sebelah, kita akan menganggap orang tersebut sebagai "fake friends". Coba kalian renungkan ilustrasi di bawah ini:

Nana adalah seorang mahasiswi sosialita dan populer. Dia terkenal memiliki banyak sekali teman, tapi ketika disinggung, dia selalu menjawab, "Ah, sebenernya real friends aku cuma dikit kok bisa dihitung pake jari. Sisanya sih fake semua, cuma muncul kalo butuh bantuan doang." Suatu hari, salah satu temennya yang kepo tanya, "Na, sebenernya lu nganggep gue real friends ato fake friends sih?" Nana ketawa sebentar terus menjawab, "Lu gila ya? Kalo lu aja gue anggep fake, terus siapa lagi yang real? Cuma lu yang selalu mau nemenin gue ngafe, shopping, bahkan pas gue nge-date pun lu tetep mau temenin. Lu juga selalu siap buat dengerin curhat gue, nenangin gue waktu sedih. Banyak lah jasa lu buat gue!" Dan temennya hanya bisa tersenyum sambil berpikir: kok kayanya dia yang fake ya?

Apakah definisi real friends kalian sama dengan Nana? Selama ini kita berpikiran bahwa real friends adalah temen yang selalu ada dan siap kapanpun buat kita. Tanpa disadari sesungguhnya yang kita tekankan di sini adalah bagaimana temen kita bisa membantu/memenuhi kebutuhan kita. Jadi sebenernya yang fake siapa?

Mungkin sampai di sini beberapa dari kalian merasa bingung atau jadi merenung apakah kalian udah menjadi temen yang baik. Mungkin sebagian dari kalian merasa bahwa pemikiran aku aneh dan lebay. Untuk menghindari hujatan lebih lanjut, aku mau menekankan: nggak ada salahnya berteman karena kebutuhan. Banyak ahli, terutama psikolog, yang menyimpulkan bahwa kebutuhan sosial itu cukup krusial bagi kehidupan manusia. Menurut Teori Maslow (ceritanya biar keren kaya mahasiswa beneran gitu), kebutuhan sosial berada pada tingkat ketiga dari lima tingkat kebutuhan manusia. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan sosial memang cukup urgent untuk dipenuhi.

Oke, sekarang kalian tahu bahwa manusia berteman karena kebutuhan dan kebutuhan itu harus dipenuhi. Jadi kita bisa anggap semua orang real friends dong? Nggak juga, karena manusia sudah jatuh dalam dosa sehingga tak satupun dari mereka adalah benar. Maksudnya, tentu nggak semua orang berteman sama kita setulus itu, tapi apakah mereka fake? Sedikit saran, daripada melabeli seseorang "fake friend" lebih baik kita menganggap mereka "temen yang nggak peka". Kamu nggak pernah tau apa yang ada di pikiran seseorang. Bisa aja orang yang kamu anggep fake, selalu minta bantuan kamu karena emang cuma kamu yang bisa dia andalkan, sayangnya kamu kurang asik buat jadi sahabat gaul dia :(

Kesimpulannya, jangan semudah itu melabeli seseorang sebagai "fake friends" karena bisa aja asumsi/pemikiran kamu tentang mereka itu salah. Kamu nggak pernah tau kan kalo temen curhat kamu sebenernya cape dengerin kamu curhat dan drama? Untungnya, label "persahabatan" membuat seseorang lebih kuat dalam menghadapi tingkah laku menyebalkan dari sahabatnya. Dan yang terpenting, jangan membenci temen yang nggak peka (atau kalian masih tetep mau pake istlah "fake friends"? Terserah) karena lebih baik ada yang nyariin dibanding nggak sama sekali :)

Monday 7 May 2018

Come Back


It’s been a while since the last time I wrote something on this blog. Or I can say, that’s the last time I was diligent and passionate enough to verbalize my thoughts. Yes, I have been lazy. No, I’m not dead or sick or amnesia. I won’t say that I was too busy with my life because I believe nobody will ever be ‘too busy’ if you are willing to make time for something. In this case, I didn’t spare anytime to write or to think about my blog. Therefore, I’m here to plead myself guilty.

For the past year, of course I was busy with university stuff. Basically, what I have done for the last one and a half years was studying (for good grades), attending organization meetings (to develop interpersonal skill), sleeping (to keep me sane), and eating (to make me happy). What a productive year, huh? I know it’s kind of pathetic, but I struggled enough to keep my life balanced. So here I am, in my last year of university (I hope), trying to make the best out of it. That’s why I decided to start writing in this blog again. And this time, I want to be more dedicated since I supposedly have lots of free time. For me, writing is the way I tell my story and my thoughts because, in everyday life, I am too shy to actually speak up. And I feel happy to know that people read my writings. In conclusion, I’m trying my best to be able to update this blog more regularly since I don’t want my free time to go to waste. I hope you who read this won’t fall to the lazy-and-unproductive hole like me :) If you do, get up, there’s still time to change!