Thursday 15 March 2012

Secangkir Kopi

Uap mengepul dari sebuah cangkir di atas meja. Kunikmati pemandangan yang tak lagi asing itu dengan seksama, seperti seorang anak kecil yang baru belajar hal baru. Kuperhatikan uap yang tercipta, membumbung ke langit-langit, kemudian hilang. Namun segera tercipta uap lainnya, yang seakan-akan menyusul temannya. Tak kusangka bahwa benda mati pun memiliki perasaan! Atau hanya aku yang terlalu berimajinasi? Kurasa itu tidak penting. Setelah buyar imajinasiku, aku pun mengangkat cangkir itu dan menyesap cairan yang mengandung kafein tersebut dengan nikmat dan perlahan. Sesekali aku meniup permukaannya, memaksanya untuk tidak menyakiti mulutku dengan rasa panas. Kunikmati tiap teguk yang mengalir di kerongkonganku dengan mata terpejam. Berusaha meresapi tiap rasa yang ada. Manis, sedikit pahit, dengan temperatur yang pas. Aku tersenyum simpul. Kuletakkan secangkir kopi yang masih tersisa setengahnya di atas meja. Perlahan, hingga tak menimbulkan suara. Aku tak mau suara selemah apapun mengganggu.

Pikiranku langsung tertuju pada orang itu. Entahlah. Namun, kopi pagi ini seakan mengingatkanku akan kisahku dan dia dahulu. Mengembalikan ingatanku pada cinta yang begitu aneh. Ya, benar-benar aneh. Kisah cinta kita aneh, seperti kopi ini, namun tetap memberi kesan tersendiri. Kisah cinta kita manis, dihiasi dengan sedikit rasa pahit, menjadi sangat menarik. Cinta kita hangat, tidak terlalu panas atau dingin, dan saling memerlukan. Itulah yang digambarkan oleh kopi pagi ini. Kisah cinta yang menarik dan saling membutuhkan.

Kuambil lagi cangkir kopi itu, tapi kurasakan cangkirnya tak lagi hangat. Benar saja, kopi yang tersisa kini telah dingin, memberi rasa manis yang berlebihan dan memuakkan, serta menyisakan ampas yang teramat pahit. Sejalan dengan kisah kita. Yang baru setengah jalan, namun tak lagi nikmat. Semuanya menjadi terlalu berlebihan dan membosankan. Dan pada akhirnya, hanya menyisakan luka membekas.

Itulah kisah kita. Yang diawali dengan sedikit tergesa-gesa, hingga berakhir dengan tergesa-gesa pula. Cinta memang bisa diibaratkan dengan secangkir kopi. Kopi yang baru diseduh akan menyakiti lidah jika diminum. Seperti cinta yang terlalu menggebu-gebu hanya akan membawa rasa sakit. Demikian pula dengan cinta yang selalu menunggu, pada akhirnya hanya akan menjadi dingin dan memuakkan.

No comments:

Post a Comment